Mahathir Mohamad: Saya Tak Boleh Bicara di UMNO

Wawancara eksklusif Majalah TEMPO dengan mantan Perdana Menteri ke-4 Malaysia Tun Mahathir Mohamad pasal hasil Pilihan Raya Umum 12 (PRU 12) dan peta politik Malaysia terkini. Di Malaysia, politik belum bebas dari Mahathir. Ketika suara Barisan Nasional anjlok pada PRU lalu, para pendukung politik Melayu serta-merta merindukan Mahathir Mohamad. Banyak yang cemas, kekalahan itu isyarat kebangkrutan UMNO, kendaraan politik Melayu yang telah berkuasa lebih dari setengah abad.

Faktor apa yang membuat rakyat Malaysia cenderung tak lagi menyokong Barisan Nasional?

Saya kira faktor tak puas hati dengan cara kepemimpinan. Kalau faktor ekonomi, rakyat tak begitu paham. Ekonomi Malaysia masih tumbuh pesat. 6 persen per tahun. Yang mereka rasakan dan pahami adalah soal kenaikan harga barang, teruitama harga minyak. Mereka akan menunjukkan perasaan itu melalui PRU.

Anwar Ibrahim akan menurunkan harga minyak begitu dia terpilih. Mungkinkah hal itu dilakukan?

Kalau dia menang PRU dan membentuk pemerintahan, barulah dia boleh menyentuh harga minyak. Tapi kalau minoritas, apa yang dapat dibuat untuk menurunkan harga minyak? Itu cuma gimmick PRU.

Warga Malaysia sudah lama hidup dalam keterpecahan sosial. Ada kantong masyarakat Cina, Indoa, Melayu. Mengapa sampai kini hal itu tak berubah?

Di Malaysia, kaum-kaum itu berbeda bukan hanya dari etniknya, tapi juga ekonominya. Di bidang ekonomi kita melihat kaum Cina jauh lebih maju daripada orang Indoa dan Melayu. Orang China berkegiatan ekonomi di kota-kota, orang Melayu di luar wilayah kota. Jadi tak ada kesempatan bagi mereka bertemu. Orang India lebih banyak bekerja di bidang real estate. Perasaan etnik mereka itu begitu kuat. Makanya tak mungkin berjuang dalam satu partai. Mereka pun mendirikan partai berdasarkan ras. Jadi kalau mau mendirikan partai, itu haruslah gabungan dari partai-partai rasial. Begitulah cara mengatasi keragaman.

Kaum Melayu dinilai amat diuntungkan dalam pembangunan ekonomi….

Dulu, kami memberikan bantuan kepada kaum yang terbelakang, yaitu orang Melayu dan suku asli lain di Sabah dan sarawak. Bantuan itu bertujuan untuk menaikkan nilai ekonomi memreka. Tak ada negeri di Asia Tenggara ini yang membuat sekolah etnik dengan bantuan pemerintah. Sekolah cina dengan bahasa Cina, sekolah Tamil dengan bahasa Tamil, dan sekolah kebangsaan dengan bahasa Melayu. Mereka boleh pergi ke sekolah kebangsaan, tapi mereka kuat sekali berperasaan bahwa dalam hal pelajaran mereka harus pergi ke sekolah etnik masing-masing.

Malaysia pernah mengalami kerusuhan etnik pada 1969. Apakah ketegangan itu masih mengancam?

Saya pikir tidak. Saya juga tak ingin ada kerusuhan antar etnik lagi. Memang ada ketegangan antara semua kaum, tapi tak begitu tinggi, karena di Malaysia, alhamdulillah kita tidak ganas.

Banyak yang membandingkan anda dengan pemerintahan Abdullah Badawi…

Memang erbandingan selalu akan dibuat. Kalau ada pemimpin yang baru, pemimpin ini akan meninggalkan jejak yang merujuk ke dirinya. jadi, berbedalah antara pemerintahan saya dengan Pak Lah. Tapi ada kebijakannya yang tak disukai oleh rakyat. Misalnya, tentang jembatan ke Singapura. Ini yang membuat saya tersinggung. Kita lihat sekarang pemerintah Malaysia tunduk kepada sebuah negara kecil. Ini membeuat sakit hati banyak pemilih.

Bagaimana anda melihat media Malaysia sekarang?

Kelihatannya media sekarang hanya mengungkapakan apa kata pemerintah dan tak pernah menyampaikan kritik. Kaslau saya buat kritik kepada pemerintah, tak ada laporannya di dalam suratkabar, televisi, radio. Jadi pemerintah mencoba membendung media. Ini contoh tindakan yang tidak baik.

Jadi anda sekarang mendukung media yang bebas?

Saya suka media yang lebih baik, yang lebih terbuka. Tapi pada saat yang sama mereka tak boleh menimbulkan perasaan benci antara kaum. Ini sensitif di Malaysia. Kalau media memainkan isu-isu etnik, akan timbul huru-hara seperti kerusuhan 1969. Jadi walaupun kami beri kebebasan, ada aspek tertentu dimana mereka harus berhati-hati. Tak boleh terlalu bebas membuat kritik ini itu. Karena masih ada ketegangan antar etnik.

Ketika berkuasa, bukankah anda juga mengekang suara kritis?

Ya, banyak orang berkata begitu. Tapi pada hakikatnya, saya ounya opposition party yang kuat dan, kalau ada kalangan di partai saya yang menentang saya, mereka bebas bertanding dengan saya. Tengku Razaleigh Hamzah (1987) lawan s aya, Musa Hitam (1986) lawan saya. Banyak orang dalam pemerintahan saat itu adalah orang yang dulu melawan saya. Masih juga saya terima mereka dalam partai. Sekarang ini tak satu pun orang yang berani menegur pemimpin di atas, karena mungkin tindakan akan diambil.

Benarkah anda tak boileh bicara di dalam UMNO?

Di dalam atau di luar UMNO, saya tak boleh bicara. Ya, memang ada komentar saya tentang hal-hal yang mengecewakan. Umpamanya jembatan ke Singapura dan Proton. Saya ingin rakyat tahu, tapi rupanya mereka ingin rakyat tak tahu.

Hubungan Indonesia dan Malaysia belakangan kerap panas gara-gara perkara remeh, mislanya lagu ‘Rasa sayange’. Benarkah Malaysia tengah mengalami krisis identitas, sehingga harus mengambil sesuatu dari Indonesia?

Lagu rasa Sayange itu sudah dinyanyikan sejak sebelum perang dunia. Bagi kami ini bukan perkara hak Indonesia atau Malaysia. Ini hak satu rumpun bangsa pengguna bahasa Melayu. Kami lihat Rasa Sayange dinyanyikan dalam bahasa Melayu, yang adalah bahasa rumah di Malaysia. Sehari-hari pun kakmi bercakap dalam bahasa Melayu. Tapi di Indonesia terdapat lebih dari 200 bahasa. dan bahasa Indonesia yang ada persamaan dengan bahasa Melayu waktu itu hanyalah satu golongan kecil saja, yang dipilih pada zaman sebelum merdeka. Kami memang menyanyikan lagu itu dan kami tidak memasalahkan lagu itu milik siapa.

Anda pergi ke Jakarta sewaktu Suharto sakit dan ke Solo waktu meninggal. Bagaimana anda menilia Suharto?

Ya, saya juga datang ke pemakaman. dia itu great leader. Ketika dia mengambil alih kekuasaan, kondisi Indonesia sulit. Makanan tak cukup. Banyak huru-hara dan pembunuhan. Tapi dia berhasil mengamankan Indonesia. Juga ketika kami berkonfrontasi, Pak Harto berusaha agar konfrontasi itu didamaikan. Lagi pun kalau kita perhatikan, keadaan pada masa sebelum Pak Harto kan kurang baik, meski Presiden Sukarno membuat banyak perencanaan. Pak Harto membangun Indonesia. Tapi Indonesia sangat besar, jadi tak mungkin menyelesaikan banyak masalah.